Monday, February 8, 2016

Saat Terindah (Part 2)



Keesokan harinya
Bruss, mobil geng sok kece menyiprat air ke atas kawan-kawan ku yang sedang asik balapan sepeda. Alhasil baju mereka pun basah semua. Aku yang tadi mendayung sepeda dengan santai pun jadi spanning dan mengejar mobil mereka, lalu mereka pun berhenti dan turun.
“Jangan mentang-mentang kalian anak orang kaya bisa seenaknya sama kami” bentakku
“Suka-suka gua dong, salah sendiri kesekolah pake sepeda. Macam anak kampung” jawab Ahmad.
“Gaya amat lu, yang kaya juga bapak lu. Kenapa lu yang songong ya, bingung gua”
“Berani amat lu sama kita” jawab putra
“Ngapain gua takut sama kalian, emang kalian siapa”
Ahmad mendorong bahuku
“Woy lu jadi cewe jangan songong ya”


Aku terkejut, emang banci ni cowo beraninya sama cewe doang. Aku pun memberi serangan, aku menginjak kakinya dan menonjok perutnya. Dia sama sekali tidak melawan, akupun terus melakukannya tanpa rasa bersalah sedikitpun. Ntah gara-gara mabuk racun sianida atau apa aku enggak tau.
“Aduh, sakit banget perut gua”. Rintih Ahmad pada Lana dan Putra yang sedang terbengong-bengong.
“Woy, kalian denger enggak sih?” Bentaknya lagi.
“Iya.. iya kenapa bos?” tanya putra.
“Nih perut gua di tonjok sama tu cewe” jawabnya sambil menunjuk ke arah ku.
“Memang tu cewe songongnya perfect” balas Lana
“Iya, bos kita aja K.O”
Mereka pun menertawai Ahmad yang sedang kesal, seakan-akan enggak sadar kalau aku masih di depan mereka.
Dan kami pun pergi meninggalkan mereka.

“Ya Allah, begitu berat cobaan yang engkau berikan. Kenapa baju ku ini bisa keciprat lumpur Ya Allah. Bagaimana caranya aku mengeringkannya? Ya Allah bantulah hamba mu ini” Rintih Nadya.
“Woy nad” ujar ku sambil memeriksa dahi nya, ternyata panas banget seperti berada di kutub utara. “Kalau mau sableng ntaran aja, keringin dulu tuh baju”
Dia pun segera berkumpul dengan Salsa dan Aryanti yang sudah seperti jemuran bernyawa, jahat banget aku jadi kawan. Dan aku langsung menuju keparkiran untuk memarkir kan sepeda, lengkap dengan gembok besar yang beratnya mencapai 5,95 ton. Jaga-jaga biar enggak di malingin orang.

Istirahatnya aku meminjam buku di perpus, dan saat perjalanan pulang akupun ditabrak oleh Ahmad yang sedang sibuk dengan hp nya. Punya mata bukan di gunain dengan semestinya tapi malah di gunain buat mentengin hp. Buku ku pun berceran, sampai aku bersusah payah untuk memungutnya. Bercecerannya pun bukan di sekitar kami tabrakan tapi malah sampai ke berbagai kota besar di Indonesia, dan sepertinya kalimat itu hanya menjadi gambaran di pikiranku.
“Maaf-maaf, gua enggak sengaja” ujarnya sambil membantu memungut buku ku yang berceceran.
“Iya, enggak apa-apa”
Dan tanpa sengaja kami mengambil buku yang sama dan dia memegang tangan ku, akupun menariknya dengan segera.
“Apa lu pegang-pegang” bentakku.
“Orang enggak sengaja juga, lagian mana ada cowo sekece gua yang mau megang tangan cewe songong kaya lu”
“ Idih sok kece banget lu, kece enggak norak pun iya”

Akupun segera mengambil buku-buku ku dan beranjak menuju kelas. 


“Kemana aja lu? Ngambil buku segede upil itu aja lama banget” gerutu Aryanti.
Wtf, buku segini banyak di bilang segede upil. Mulai minus kayanya mata si Aryanti.
“Habis berantem sama gua” sambar Ahmad yang tiba-tiba muncul
“Berantem kenapa” lanjut Aryanti
Ahmad tak menjawab dan langsung beranjak pergi.
“Jeh, ditanya malah pergi” gerutu Aryanti.
“Emang kalian berantem kenapa?” tanya Salsa penasaran.
“Biasalah, kami kan kaya Tom & Jerry tiap ketemu pasti berantem. Apapun masalahnya dan dimanapun tempatnya” jawabku.
“Yaelah sya, lama-lama gua kawinin juga lu sama dia” sambar Nadya
“Idih, lu kira gua ayam apa. Kawin-kawin”
“wkwkwk, tamat SMA ini. Kami tunggu undangannya sya” lanjut Nadya
“Mati aja -_-“ jawabku
“Muahahaha”
Kawan-kawan gua pun merayakan kemenangan perdana mereka untuk membully gua dengan tertawa gaya nenek lampir tahun 1865-an

0 comments:

Post a Comment